JAYAPURA (PT) – Peristiwa Wasior berdarah tahun 2001 silam merupakan salah satu rentetan pelangaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Papua yang sudah 17 tahun ini belum ada tindakan nyata dan penyelesaiannya.

Demikian diutarakan Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) untuk Tanah Papua ketika menggelar jumpa pers di Jayapura, Rabu (13/6/2018).

SOS menyatakan dan sekaligus mendesak pemerintah Indonesia termasuk Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk menuntaskan kasus semua pelangaran HAM yang termasuk Wasior Berdarah.

Thedy Wakum selaku penangungjawab SOS untuk Tanah Papua mengatakan, kasus pelanggaran HAM Wasior berawal dari masyarakat yang menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang dirampas oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

“Masyarakat menuntut ganti rugi kepada perusahaan atas tanah adat termasuk kayu-kayu mereka yang dikuasai PT. Dharma Mukti Persada,” terangnya.

Namun, tuntutan masyarakat justru tidak dipedulikan oleh pihak perusahaan, kemudian sekelompok orang bersenjata melakukan penyerangan terhadap PT. Dharma Mukti Persada (DMP) di Kecamatan Wasior pada 31 Maret 2001.

“Dalam peristiwa tersebut tiga orang pegawai PT. DMP menjadi korban dan pada tanggal 13 Juni 2001 terjadi lagi penyerangan terhadap base camp CV. Vatika Papuana Perkasa (VPP) di Desa Wondiboi. Dalam peristiwa itu lima orang anggota Brimob tewas dan satu orang warga sipil,” jelasnya.

Setelah peristiwa tersebut, Polda Papua melakukan pengejaran dan penyisiran terhadap pelaku penyerangan dengan dibackup Kodam XVII/Trikora untuk melakukan Oprasi Tuntas Matoa.

“Operasi ini menyebabkan korban di kalangan masyarakat sipil. Berdasarkan data Komnas HAM, telah terjadi indikasi kejahatan HAM dalam bentuk 4 kasus pembunuhan, 39 kasus penyiksaan termasuk menimbulkan kematian.1 kasus pemerkosaan dan 5 kasus penghilangan secara paksa dan terjadi pengungsian secara paksa yang menimbulkan kematian dan penyakit, kehilangan dan pengrusakan harta milik yang mengakibatkan 51 rumah yang dibakar beserta harta benda di 8 lokasi yang berbeda yakni Wasior Kota, Kampung Wondamawi, Kampung Wondiboi, Kampung Cenderawol, di Sanoba,” bebernya.

Untuk itu, pihaknya dari SOS untuk Tanah Papua, mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk segera menuntaskan kasus Wasior.

Selain itu, SOS juga mendesak Presiden Jokowi dan Kejaksaan Agung RI untuk segera menuntaskan kasus Wasior Berdarah 2001 ke pengadilan HAM di Papua.

Kemudian .endesak Pemerintah Pusat untuk memulihkan dan merehablitasi hak korban dan keluarganya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

“Kami juga mendesak pemerintah untuk melaksanakan kewajban dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi pejuang kemanusiaan, pejuang masyarakat adat dan lingkungan dan segera melakukan review perijinan dan menghentikan penjinan koorporasi yang melanggar HAM serta mendorong tata kelola yang berpihak kepada masyarakat adat Papua dan kelestarian lingkungan,” pungkasnya.

Senada dengan itu, Jhon Gobay sebagai narasumber mengatakan, kasus Wasion sudah dilimpahkan ke kejaksaan agung sesuai dengan undang-undang.

“Jadi harusnya Kejaksaan Agung menindaklanjutinya,” katanya.

Menurutnya, berkas masih mengendap di Kejaksaan Agung sehingga pihaknya juga mendesak Presiden Jokowi untuk segera memerintahkan Kejaksaan Agung untuk kasus pelangaran HAM Wasior ditindak lanjuti dengan membentuk peradilan HAM sesuai dengan UU No 26 Tahun 2000.

“Ini presiden yang harus memerintahkan karena Kejaksaan Agung dan Menkopolhukam adalah pembantu-pembantu presiden,” imbuhnya.

Diakuinya, kasus Wasior buakan pelangaran HAM biasa tapi pelanggaran HAM berat dan berbahaya.

“Ini yang dikatakan bahwa penguasa negara tidak tunduk pada regulasi yang di buatnya sendiri. Bagaimana mau melakukan penegakan HAM tetapi regulasi tentang pengadilan HAM tidak ditaati oleh penyelengara negara. Oleh sebab itu, presiden yang harus mengambil peran itu,” pungkasnya. (ai/dm)

LEAVE A REPLY