##Wilhelmus Pigai : Pemerintah Jangan Alergi Dengan Tuntan##

JAYAPURA – Komisi I DPR Papua melakukan hearing dialog dengan masyarakat adat Sempan dari Distrik Jita, Kabupaten Mimika, di Hotel Horison Jayapura, Kamis (14/12/2017).

Dalam hearing dialog ini, Komisi I DPR Papua mengapresiasi masyarakat adat Sempan yang tidak ingin menjual tanah ulayatnya untuk pembangunan Pelabuhan Sipu-Sipu yang ada di Distrik Jita.

“Mereka tidak jual tanah adatnya, tapi mereka ingin kerjasama atau seperti sewa atau kontrak tanah dalam jangka waktu sekian tahun. Dan ini artinya masyarakat tetap statusnya milik masyarakat adat, sehingga siapapun yang menggunakan wajib kerjasama atau sewa tanah,” ungkap Ketua Komisi I DPR Papua, Ruben Magai, SIP didampingi anggota Komisi I DPR Papua, Wilhelmus Pigai usai hearing dialog.

Ruben Magai menjelaskan, pihaknya tertarik dengan keinginan masyarakat adat Suku Sempan, sehingga perlu menjadi contoh masyarakat adat lainnya yang tidak harus menjual tanah, tapi cukup disewakan atau dikontrakan dalam jangka waktu tertentu.

“Kami akan dorong dan tetap harus sampai selesai, karena ini akan menjadi model,” jelasnya.

Menurut Magai, mereka akan mewariskan kepada generasi ke depannya, dengan tetap memiliki tanah adat yang tidak dijual kepada pihak manapun.

Sekedar diketahui, hearing dialog ini juga dihadiri Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Papua, Reky D Ambrauw, S.Sos, M.Si dimana membahas masalah pembayaran tanah ulayat yang suku Sempan dipakai untuk pembangunan Pelabuhan Sipu-Sipu.

“Kami merespon apa yang dialami masyarakat adat Sempan yang berada di antara Asmat, Nduga dan Yahukimo. Akses pelabuhan ini strategis dalam mobilisasi material ke wilayah selatan,” imbuhnya.

Senada dengan itu, anggota Komisi I DPR Papua, Wilhelmus Pigai menambahkan, jika pihaknya membicarakan tuntutan hak ulayat masyarakat di Distrik Jita.

“Tuntutan yang menurut saya, baru pertama kali terjadi di Papua. Karena tuntutan hak ulayat yang mereka minta, tidak dalam bentuk jual hak ulayat mereka kepada pemerintah atau siapapun, tapi minta hak ulayat itu dibuat dalam bentuk sewa atau kontrak,” teranng Pigai.

Menurunya, aspirasi ini hal baru di Papua, sehingga ia sangat mendukung dan memberi apresiasi kepada masyarakat dengan harapan kedepan di Papua dilakukan hal sama, seperti di Jogjakarta, Bali dan Batam dimana masyarakat lokal tak menjual tanah.

“Jadi, jangan pemerintah atau pihak manapun merasa alergi dengan tuntutan ini. Sebab hal positif yang secara tidak langsung memberikan pembelajaran kepada kami pengambil kebijakan untuk memproteksi apa yang menjadi hak masyarakat adat,” ucapnya.

Untuk itu, dengan tegas Wilhelmus Pigai mengatakan, Pemkab Mimika dalam hal ini Dinas Perhubungan tidak  lari dari tanggungjawab mereka melainkan harus cepat mengambil langkah bersama Pemprov Papua dan DPR Papua untuk duduk menyelesaikan masalah ini, sebelum proyek itu berjalan tahun 2018.

“Apalagi masyarakat ancam, jika tidak diselesaikan sebelum pekerjaan berjalan, maka mereka akan lakukan pemalangan atau pekerjaan di pending dulu. Itu artinya pemerintah bisa dirugikan,” bebernya.

Ditempat yang sama, mewakili Suku Sempan, Pius Saopetaka menambahkan jika memang masyarakat adat meminta dilibatkan dalam pembangunan Pelabuhan Sipu-Sipu.

“Kami tidak menjual tanah, tapi kami ingin kerjasama. Kami ingin tanah kami disewa atau dikontrak. Kami sudah ketemu gubernur dan beliau sangat setuju,” ungkap Pius.

Hanya saja, tambahnya, dalam koordinasi dengan Dinas Perhubungan Mimika belum jalan, menyangkut status hak ulayat, jika tidak dibayar maka akan dipalang.

“Tahap I dan II sesuai dengan kontrak sudah habis, lalu karena sebagai pemilik ulayat maka kami tuntut ganti rugi belum dibayar, padahal pelabuhan sudah dibangun 80 persen,” tandasnya. (ara/rm)

LEAVE A REPLY