BALI (PT) – Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPR Papua melakukan studi banding dalam rangka konsultasi tentang Ranperdasi Penyelenggaraan Keagamaan di Provinsi Bali, Selasa (17/4/2018).

Studi banding ini dalam rangka mengkaji Ranperdasi mengenai pengaturan dan pelaksanaan tentang pendirian rumah ibadah, hari-hari libur keagamaan, peran forum kerukunan umat beragama, penghormatan dan penghargaan terhadap peribadatan, siar keagamaan, penyelesaian perselisihan, pengawasan dan pembiayaan.

Tim dari Bapemperda DPRP dipimpin langsung Wakil Ketua, Emus Gwijangge didampingi anggota masing-masing Mathea Mamoyau, S.Sos, Yan Permenas Mandenas, S.Sos, M.Si, Nason Utti, SE dan Agus Kogoya langsung melakukan sharing dengan Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Bali, Dewa Putu Mantera, SH, MH di Aula kantor Kesbangpol Bali.

“Kerukunan umat beragama di Bali, sangat baik dan tidak ada kendala. Semua saling menyadari, semua saling berkoordinasi untuk mencapai Bali itu seperti apa kedepan. Kata kuncinya adalah kita harus berkoordinasi membuat Bali yang ingin dicita-citakan sebagai primadonna dunia. Makanya Bali lebih dikenal di dunia ketimbang di Indonesia, “kata Kepala Kesbangpol Bali Dewa Puti Mantera.

Menurutnya, jika tidak ada kesepakatan seperti itu, mungkin Bali sudah tenggelam. Bahkan, tokoh-tokoh agama yang ada di Bali sudah komitmen bersama membangun Bali, menjaga Bali dan menghormati Bali.

“Termasuk siapa pun yang datang ke Bali, baik yang mencari pekerjaan, berwiraswata dan berdarma wisata. Ini kita punya suatu seni kebudayaan yang kental dan itu harus dihormati bersama,” jelasnya.

Terkait soal keagamaan, ia menyarankan agar provinsi lain harus kembali kepada maksud dan tujuan daerah tersebut.

“Kalau tujuan daerah tersebut datang ke Bali untuk datang mencari referensi juga untuk bisa menyesuaikan atau untuk mengikuti pola Bali, barangkali kita harus lihat dulu kecocokannya. Apakah cocok di saat budaya Bali ini diterapkan di daerah lain. Itu satu persoalan,” ujarnya.

Untuk itu, kata Kakesbangpol, kalau memang tidak cocok, maka kembali lagi kepada masyarakat setempat. Sehingga jangan dipaksakan karena jika dipaksakan akan menjadi konflik, apalagi disana ada berbagai macam umat.

“Kalau menyatukan satu menjadi satu berbagai macam umat, itu harus dilakukan koordinasi yang baik,” pesannya.

“Kalau yang masuk muslim, masuk dia ke Masjid, Kristen masuk dia ke Gereja, Hindu ke Pura. Ini dalam satu area, ada di Bali. itu cirinya hanya baru ada saru di Bali ini, dan belum ada di daerah lain. Kalau seumpama di Papua ada seperti ini, itu sangat bagus,” imbuhnya.

Oleh karena itu kata dia, langkah-langkah yang harus diambil oleh daerah lain supaya kerukunan agama di daerahnya bisa seharmonis di Bali adalah komitmen untuk bersama, konsisten dan juga mencari masukan-masukan sosialisasi kepada masyarakat, apa perlu atau tidak namun tidak menjatuhkan agama lain.

“Kalau sudah begitu, saya yakin hubungan kita antar umat beragama sangat bagus karena saling menyadari, saling mengerti satu sama lain dan ingin menjaga bersama tidak ingin lepas dari kerangkaian NKRI,” imbuhnya.

Wakil Ketua Rapemperda DPRP, Emus Gwijangge mengakui keunikan serta kerukunan beragama di Bali berjalan baik dan harmonis, dimana budaya Bali yang sangat kental dijunjung tinggi dan sangat dihormati oleh masyarakat yang ada di Bali.

“Jadi kami di Papua itu seharusnya seperti di Bali, meskipun adat budaya serta keagamaannya sangat kuat tapi tetap sejalan dan harmonis. Dua ini saja, budaya dan agama ini yang membuat mereka punya regulasi atau kebijakan langsung diterima oleh masyarakat Bali,” katanya.

Emus mengakui, dari pertemuan singkat itu, banyak yang dipetik dan pihaknya banyak mendapat masukan terutama soal keamanan. Dimana mereka bersatu dan saling menghargai serta saling menghormati satu dengan yang lainnya.

“Terutama mereka menghargai hari-hari keagamaan yang sudah menjadi budaya di Kota Bali. Seperti hari raya Nyepi tidak ada aktivitas bahkan penerbangan dilarang beroperasi juga jaringan untuk komunikasi atau online sengaja di non aktifkan. Jadi ini sangat luar biasa, karena masyarakat di Bali ini harus menyesuaikan peraturan yang sudah dikeluarkan Pemerintah Provinsi Bali,” ucap Emus.

Emus menambahkan, ada beberapa regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Bali, itu menjadi kekuatan mereka yang harus dipatuhi oleh setiap orang.

“Kita di Papua seharus seperti mereka di Bali. Kita kan punya UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Namanya juga daerah kekhususan sehingga bawahan dari UU itu juga perdasi dan perdasus. Dari situ kita bisa menghasilkan beberapa regulasi tentang keagamaan, tentang adat budaya kemudian juga beberapa regulasi yang bisa melindungi umat beragama di Papua, ” paparnya.

Menurut legislator Papua ini, sebenarnya kalau di Papua itu justru lebih bagus karena didasari oleh undang-undang, sementar di Bali belum ada.

“Tapi di Bali mereka bisa jalan, malah mereka hanya berpatokan pada adat budaya dan agama saja. Dua ini saja mereka sudah cukup. Kita di Papua masalah budaya juga sangat kental. Seperti tanah adat, itu sudah kental,” ucapnya.

Mengenai larangan pengeras suara di Mesjid, kata Emus, pihaknya menilai bukan melarang tapi bagaimana bisa saling menghormati sesama agama lain, apalagi di dalam kompleks.

Emus menegaskan, sebenarnya tidak ada yang sulit jika ada niat untuk menjalankan itu semua karena toleransi beragama di Papua juga sangat di junjung tinggi dan saling menghormati.

“Di Papua juga ada peluang dan bisa seperti di Bali, hanya saja kami di Papua belum ada kata sepakat dan saling bersatu.  Kalau pemerintah dan tokoh agama sepakat, saya pikir peraturan ini bisa berjalan normal, yang dibutuhkan hanya saling menghargai dan saling menghormati sesama agama. Dari peremuan tadi, banyak hal yang bisa kita petik dan masukan yang disampaikan oleh Kesbangpol dan menurut kami itu sangat positif,” tutur Emus. (ara/dm)

LEAVE A REPLY