JAKARTA (PT) – PT Freeport Indonesia membuka peluang bagi Pemerintah Provinsi Papua untuk mencari solusi bersama pembayaran Pajak Air Permukaan (PAP) pasca keputusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan PT Freeport Indonesia atas perkara tunggakan dan denda pajak air permukaan perusahaan tambang yang beroperasi di Timika itu.

Vice President Corporate Communication Freeport Indonesia Riza Pratama, mengatakan PT Freeport sudah menawarkan untuk membayar PAP dan hingga kini masih dalam proses negosiasi dengan Pemprov Papua.

“Kita sudah menawarkan kepada pemerintah daerah dan kita masih terus berdiskusi dengan Pemda. Freeport juga punya batas atau angka yang bisa diterima semua pihak. Kita berharap kedua belah pihak mendapat hal terbaik atau win-win solution,” kata Riza Pratama kepada pers di Hotel Pillman Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (12/11).

Hanya saja, Riza Pratama tanpa menyebut secara rinci berapa besar biaya yang disanggupi Freeport untuk membayar pajak air permukaan itu.

Riza mengatakan, jika Freeport bersandar pada putusan hakim kasasi MA mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan PT Freeport Indonesia atas perkara tunggakan dan denda PAP serta pembatalan keputusan membayar pajak air permukaan sebesar Rp 2,6 triliun itu, maka seyogianya PT Freeport tak ada lagi kewajiban untuk membayar PAP itu.

Namun, lanjut Riza, karena Freeport menginginkan solusi terbaik bagi kedua belah pihak, maka Freeport menawarkan sejumlah angka untuk membayar pajak air ke Pemprov Papua.

“Jika sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) maka kita tidak diwajibkan bayar (Pajak Air Permukaan). Namun, kita ingin kerjasama yang baik, makanya kita ingin bayar. Namun masih tahap negosiasi,” akunya.

Untuk diketahui hakim kasasi Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan PT Freeport Indonesia atas perkara tunggakan dan denda PAP Freeport itu.

Hakim membatalkan keputusan Pengadilan Pajak Negeri Jakarta, pada 18 Januari 2017 yang menolak permohonan banding Freeport dan mengesahkan tagihan pajak air permukaan Pemerintah Provinsi Papua ke Freeport selama 2011-2015 dengan nilai Rp 2,6 triliun.

Putusan ini diambil dalam sidang permusyawaratan majelis hakim dipimpin oleh hakim Yulius dengan anggota majelis, Hary Djatmiko dan Is Sudaryono pada 27 Februari 2018, dimana
Hakim menganggap alasan-alasan yang diajukan Freeport dalam permohonan Peninjauan Kembali dapat diterima.

Ada beberapa argumen hukum yang disampaikan Freeport.

Pertama, Freeport dan pemerintah RI terikat perjanjian Kontrak Karya tahun 1991 yang berlaku lex specialis derograt lex geralis atau hukum yang bersifat khusus (lex specialis), mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis), dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi pembuatnya.

Kedua, sifat kekhususan memiliki yurisdiksi dan kedudukan perlakuan hukum sama tanpa ada pembedaan perlakuan dalam pelayan hukum.

Ketiga, perkara ini merupakan kebijakan fiskal yang merupakan otoritas pemerintah pusat atau Kementerian Keuangan.

Perkara ini bermula dari tagihan Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Air Permukaan dari Pemprov Papua ke Freeport sejak 2011 hingga 2015 sebesar Rp 2,6 triliun.

Pemprov menagih PAP berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.

Dalam Perda itu, Pemprov Papua mengenakan tarif pajak kepada Freeport sebesar Rp 120 per meter kubik per detik untuk tiap pengambilan air.

Selain itu, Pemprov Papua menetapkan tarif PAP sebesar 10 persen dari jumlah volume air bawah tanah, atau air permukaan yang diambil dan dimanfaatkan. Pembayarannya setiap bulan.

Aturan itu juga memuat sanksi jika wajib pajak lalai. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 25 persen dari pokok pajak, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga dua persen setiap bulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar.

Sementara Freeport bersikukuh tak membayar pajak air karena masih mengacu aturan dalam kontrak karya (KK), yang hanya mengakui pajak atas penggunaan air permukaan sebesar Rp 10 per meter kubik per detik.

Pemprov kemudian membawa perkara ke Pengadilan Pajak Jakarta dan dimenangkan pengadilan.

Pemprov Papua mengklaim jumlah pajak yang harus dibayar Freeport itu sudah mendapat rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (ans/rm)

LEAVE A REPLY