Kapendam : TNI Hadir Untuk Melindungi Rakyat, Bukan Membunuh

JAYAPURA (PT) – Menyikapi seruan Gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP, MH dan Ketua DPR Papua, DR Yunus Wonda bersama pimpinan Fraksi DPR Provinsi Papua kepada Presiden RI, Panglima TNI dan Kapolri agar menarik seluruh aparat TNI-Polri dari Kabupaten Nduga pasca terjadinya tindakan pembantaian secara keji terhadap puluhan orang Pahlawan Pembangunan Papua di Distrik Yigi Kabupaten Nduga, 1-2 Desember 2018, ditanggapi Kapendam XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi.

Kapendam XVII/Cenderawai Kolonel Inf Muhammad Aidi menilai jika seruan itu menunjukkan bahwa Gubernur dan Ketua DPRP serta pihak-pihak tidak memahami tugas pokok dan fungsi sebagai pemimpin, pejabat dan wakil rakyat.

Menurutnya, seorang Gubernur adalah wakil dan perpanjangan tangan pemerintah pusat dan Negara Republik Indonesia (RI) di daerah, sehingga Gubernur berkewajiban menjamin segala program nasional harus sukses dan berjalan dengan lancar di wilayahnya. Bukan sebaliknya malah Gubernur bersikap menentang kebijakan Nasional.

“Kehadiran TNI-Polri di Nduga termasuk di daerah lain di seluruh wilayah NKRI adalah untuk mengemban tugas Negara guna melindungi segenap Rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia, kok Gubernur dan ketua DPR malah melarang kami bertugas, sedangkan para gerombolan separatis yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran hukum dengan membantai rakyat, mengangkat senjata untuk melawan kedaulatan Negara malah didukung dan dilindungi,” tegas Kapendam Aidi, Jumat (21/12).

Apalagi, kata Kapendam Aidi, sampai sekarang masih ada empat orang korban pembantaian oleh KKSB yang belum diketahui nasibnya dan entah dimana rimbanya.

Bahkan, Kapendam Aidi meminta Gubernur, Ketua DPR, para Ketua Fraksi-Fraksi DPR, Pemerhati HAM dan seluruh pihak-pihak yang berkepentingan memahami perasaan keluarga korban.

“Apakah saudara-saudari semua dapat memahami bagaimana perasaan duka keluarga korban yang setiap saat menanyakan kepada TNI-Polri tentang nasib keluarganya yang masih hilang? Apalagi, jika mereka mendengar bahwa TNI-Polri telah menghentikan pencarian karena perintah Gubernur dan DPR? Dimana hati nurani saudara-saudari sebagai manusia sama-sama ciptaan Tuhan, apalagi sebagai pemimpin? Bagaimana jika hal itu terjadi pada anda?,” paparnya.

Kapendam Aidi mengutip UU RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 67 dimana kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah yakni memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan poin f melaksanakan program strategis nasional.

Dengan demikian, kata Kapendam Aidi, jika Gubernur Lukas Enembe bersikap mendukung perjuangan Separatis Papua Merdeka dan menolak kebijakan program strategis Nasional maka Gubernur Lukas Enembe dinilai telah melanggar UU Negara dan patut dituntut sesuai dengan hukum.

Lebih lanjut, gubernur adalah ketua Forkopinda di daerah dimana anggotanya meliputi Pangdam, Kapolda Ketua Pengadilan dan Kepala Kejaksaan.

Dengan posisinya itu, mestinya Gubernur Enembe seharusnya melaksanakan rapat Forkopinda untuk bersama-sama membahas tentang upaya menumpas gerakan separatis di wilayahnya.

Bukan membuat statemen yang seakan-akan mejadi juru bicara gerombolan separatis dan menyudutkan peranan TNI-Polri dalam penegakan hukum.

Kapendam Aidi menegaskan jika Kodam XVII/Cenderawasih tidak akan menarik pasukan dari Kabupaten Nduga. Selaku prajurit di lapangan, hari Raya bukanlah alasan untuk ditarik dari penugasan, karena pihaknya yakin Tuhanpun juga Maha Tahu akan kondisi itu.

“Sebagian besar Prajurit kami juga ummat Kristiani. Pangdam dan Kapolda juga hamba Tuhan. Kami prajurit sudah terbiasa merayakan hari Raya di daerah penugasan, di gunung, di hutan, di tengah laut atau dimanapun kami ditugaskan. Dan tidak ada masalah dengan perayaan Natal di Mbua dan Yigi Kompleks, Rakyat dan aparat keamanan khususnya ummat Kristiani akan melaksanakan ibadah secara bersama-sama,” ujarnya.

Bahkan, 6 Desember 2018 lalu di Mbua dilaksanakan ibadah bersama antara Rakyat dan TNI di Gerja Mbua dipimpin oleh Pendeta Nataniel Tabuni, Koordinatr Gereja se Kabupaten Nduga dihadiri oleh Danrem 172/PWY Kolonel J. Binsar. P. Sianipar.

Kapendam menegaskan, terjadinya tindakan kekerasan yang memakan korban dan mengakibatkan trauma terhadap rakyat di Nduga termasuk di daerah manapun di seluruh Indonesia, bukan disebabkan karena hadirnya aparat keamanan TNI-Polri di daerah itu.

Tetapi, lanjut Kapendam, kekerasan itu terjadi karena adanya pelanggaran hukum, karena adanya gerombolan separatis yang mempersenjatai diri secara illegal, melakukan pembantaian secara keji terhadap rakyat sipil yang tidak berdosa.

“Ingat, mempersenjatai diri sendiri cara illegal itu sudah merupakan pelanggaran hukum berat yang tidak pernah dibenarkan dari sudut pandang hukum manapun di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Tapi kalau aparat keamanan yang diminta untuk meletakkan senjata, itu adalah kesalahan terbesar,” tandasnya.

Untuk itu, Kapendam menilai Gubernur dan Ketua DPR serta pihak manapun tidak sepantasnya meminta aparat keamanan TNI-Polri ditarik dari Nduga dimana didaerah itu, telah terjadi pelanggaran hukum berat yang harus mendapatkan penindakan hukum.

Justru, jika TNI-Polri tidak hadir padahal nyata-nyata di tempat itu, telah terjadi pelanggaran hukum berat, maka patut di sebut TNI-Polri atau Negara telah melakukan tindakan pembiaran.

“Seharusnya bila Gubernur dan Ketua DPR sebagai seorang pemimpin dan wakil rakyat yang bijak, beliau tidak harus meminta aparat keamanan TNI-Polri yang ditarik, tetapi para pelaku pembantaian itulah yang harus didesak untuk menyerahkan diri beserta senjatanya kepada pihak yang berwajib guna menjalani proses hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya,” katanya.

Apalagi, kata Kapendam Aidi, gerombolan Separatis pimpinan Egianus Kogoya telah menyatakan bahwa merekalah yang bertanggung jawab telah melakukan pembantaian terhadap puluhan karyawan PT. Isataka Karya. Jika mereka memang bertanggung jawab harusnya jangan menjadi pengecut dan bersembunyi kemudian kemana-mana berkoar-koar seolah-olah mereka yang teraniaya, sedangkan aparat keamanan dituduh sebagai penjahat kemanusiaan.

“Kami TNI-Polri bukan datang untuk menakut-nakuti Rakyat, apalagi membunuh Rakyat. Yang kami cari adalah mereka para pelaku pembantaian. Rakyat dan aparat TNI-Polri bisa merayakan natal bersama di daerah itu. Rakyat tidak perlu merasa terganggu atas kehadiran TNI-Polri di Mbua dan Yigi Kompleks. Yang merasa terganggu adalah mereka para pelaku kejahatan yang berlumuran dosa telah membatai warga sipil yang tidak berdaya,” ujarnya.

Kapendam meminta para kelompok-kelompok berkepentingan, para pejabat birokrat, wakil rakyat, akademisi, tokoh agama, aktifis, pemerhati HAM dan lain-lain yang selalu berkomentar miring menyudutkan aparat TNI-Polri, seakan-akan tidak ada sesuatupun yang benar yang dilakukan oleh TNI-Polri, agar instrospeksi diri.

“Berhentilah mengatas namakan rakyat, seolah-olah saudara adalah dewa pelindung dan penyelamat rakyat, karena belum tentu juga seberapa besar peranan saudara untuk memihak kepada kepentingan Rakyat. Ketika rakyat sipil atau anggota TNI-Polri yang jadi korban oleh kebiadaban para KKSB, saudara semua diam, bungkam seribu bahasa. Tetapi manakalah yang menjadi korban adalah pihak KKSB, saudara-saudara langsung bereaksi bagaikan cacing kepanasan. Ini semua indikator apa?,” katanya.

Dikatakan, saat Asmat dilanda musibah KLB campak dan gizi buruk, TNI adalah institusi pertama yang terjun langsung ke Asmat dengan mengerahkan segala sumber dayanya dipimpin langsung oleh Pangdam XVII/Cend dan Panglima TNI, tapi kami tidak pernah tahu bantuan apa yang telah diberikan oleh pemerintah Provinsi dan wakil rakyat terhadap warga Asmat, bahkan mungkin satu kalipun Pemerintah Provinsi dalam hal ini Gubernur Lukas Enembe tidak pernah menengok warganya yang menderita di Asmat.

Begitu juga saat bencana Embun Beku melanda di Distrik Kuyawage Lanny Jaya pada Juli 2015, yang mengakibatkan ratusan masyarakat Kuyawage eksodus mengungsi ke Tiom, maka Dandim Jayawijaya dan Kapolres Lanny Jaya beserta jajaranya yang paling pertama mendirikan tenda-tenda pengungsian, membangun dapur umum, menjemput para pengungsi sampai kepucuk-pucuk gunung.

Dalam kondisi itupun, TNI masih diganggu dengan tembakan oleh kelompok Separatis pimpinan Enden Wanimbo.

Tapi, pihaknya tidak pernah mendengar bantuan apa yang diberikan Pemda Provinsi dan wakil Rakyat terhadap warga Kuyawage.

Saat Mbua dilanda penyakit dimana puluhan Bayi dilaporkan meninggal pada Oktober-November 2015, Kodim 1702/Jayawijaya adalah institusi pertama yang mengirim bahan makanan, lauk pauk, pakaian, selimut dan lain-lain ke Mbua dan saat itu disambut oleh Pendeta Natalies Tabuni koordinator gereja Se-Kabupaten Nduga.

“Tapi kamipun tidak pernah mendengar bantuan apa yang telah diberikan oleh Pemda Provinsi dan Wakil Rakayat maupun Pemda Kabupaten Nduga terhadap rakyatnya di Mbua,”katanya.

Kapendam menambahkan, jika TNI-Polri tidak butuh dipuji dan disanjung terhadap apa yang telah dilakukan untuk rakyat, karena memang itulah tugas dan kewajiban TNI – Polri untuk melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah. (jul/rm)

LEAVE A REPLY