JAYAPURA (PT) – Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pemerintah Provinsi Papua, Omah Laduani Ladamay mengatakan kopi Papua mempunyai nilai jual tinggi terutama kopi Arabica.

“Dulu tidak ada standar di pedalaman sebelum kita tangani secara baik. Kopi dulu Rp 20 ribu sekarang rata-rata Rp 80 ribu perbungkus, bahkan di Kabupaten Dogiyai harganya mencapai Rp 150 ribu. Nah, ini pendapatan yang bukan kecil. Jadi satu hektar di komoditas lain cuma dapat puluhan juta, kalau kopi sudah ratusan juta. Jika gunung kita dorong kopi, di pesisir itu sagu,” kata Omah Ladamay kepada wartawan di Jayapura, Rabu (14/11).

Menurutnya, selama ini belum ada satu komitmen yang kuat baik di Provinsi maupun kabupaten/kota untuk mengembangkan komoditas sagu dan kopi di Bumi Cenderawasih.

Untuk itu, pihaknya terus mendorong untuk pengembangan keddua komoditas ini.

Bahkan, pihaknya sudah memasukkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Provinsi Papua untuk lima tahun ke depan.

Lebih lanjut, sebelumnya dari hasil penelitian di lima wilayah adat sudah diinventarisir sedikitnya 10 komoditas unggulan. Namun, kemudian setelah dikaji lebih dalam lagi, akhirnya dikurangi menjadi dua komoditas yakni sagu dan kopi.

“Sagu ini sangat berguna untuk ketahanan pangan, ketahanan pendapatan untuk masyarakat di daerah pesisir. Lalu, kopi ini pasarnya oke dan masyarakat juga sudah mengerti dan mengenal kopi sejak lama,” jelasnya.

Menyoal sagu, Laduani menjelaskan, tanaman ini telah ada sejak dahulu kala di Papua. Yang menjadi masalah saat ini adalah pengembangan produksinya, sehingga pihaknya mendorong melalui inovasi teknologi.

“Jika masih secara tradisional memangkur sagu itu, satu pohon sagu butuh waktu 1 minggu sampai 10 hari untuk produksinya. Namun, jika menggunakan teknologi baru, maka satu pohon bisa dikerjakan hanya tiga jam. Inikan mempercepat produktivitas masyarakat, sehingga kemarin kita hitung dari litbang satu hari produksi bisa menghasilkan empat sampai lima pohon sagu,” jelasnya.

Dari segi pemasaran, kata Laduani, untuk sagu kebutuhan pasar lokal masih sangat terbuka. Sebab, selama ini hotel-hotel di Papua belum mampu menyiapkan sagu seperti di Provinsi Riau.

Lalu pasar regional juga terbuka, apalagi pasaran nasional dan dunia.

“Jadi, kita tidak ragu untuk mengembangkan sagu,” ujarnya seraya menambahkan produktivitas sagu cukup tinggi dari komoditas lainnya.

“Untuk padi maksimal 8 ton paling tinggi 10 ton sekali panen. Bisa dibayangkan kalau sagu yang didorong satu juta hektar secara maksimal. Sagu bisa 12 tahun sekali panen tapi setiap tahun bisa tumbuh anakannya (tunas), sehingga siklus panennya tetap,” imbuhnya. (ing/rm)

LEAVE A REPLY