JAYAPURA (PT) – Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Provinsi Papua membantah pernyataan polisi yang menyebut jika lembaga yang menangani para pasien pengidap HIV/AIDS itu telah menghabiskan dana hibah Rp 1,8 miliar untuk pengadaan suplemen Purtier Placenta, obat pengganti ARV (antiretroviral).

Bantahan ini disampaikan langsung Ketua KPA Papua, Yan Matuan kepada sejumlah wartawan di kantornya, Selasa (4/2).

Dia mengatakan, apa yang disampaikan oleh Kanit 1 Subdit Indagsi Reskrimsus Polda Papua, AKP. Komang Yustrio Wirahadi Kusuma dalam rilisnya terkait praktek penjulan Purtier Placenta oleh seorang oknum dokter inisial JM, yang mengakibatkan kerugian pada konsumen itu, adalah sangat mengada ada.

“Saya pertanyakan kepada penyidik Polda Papua dari siapa mereka tau soal Rp 1,8 miliar anggaran yang kami gunakan untuk pengadan Purtier Placenta ini. Kadang-kadang polisi ini juga cari-cari alasan dan masalah. Pertanggungjawaban kami semua ke Gubernur,” kata Yan.

Menurut Yan, polisi justru terlalu mencari-cari kesalahan dari KPA Papua guna mengungkap dugaan kasus penjualan obat pengganti ARV tersebut, tanpa disertai izin resmi dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Jayapura.

Dalam BAP Kepolisian disebutkan, KPA Papua telah dua kali melakukan pengadaan Purtier Placenta dengan menggunakan Rp 1,8 miliar dana hibah yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Papua.

“Persoalan hari ini ada di BAP Polda Papua, tapi soal ini kami hanya menolong orang. Pasien bicara soal khasiat produk ini dan cocok setelah dikonsumsi, lalu kita belikan. Jadi saya dengar pak Gubernur aja sebagai atasan. Kalau dibilang stop atau jalan ya kita ikuti saja,” jelasnya.

Meski demikian, Yan mengaku surat izin edar atas Purtier Placenta generasi ke enam dari Balai POM belum keluar sampai saat ini.

Sementara, pengidap HIV/Aids yang mengkonsumsi obat itu telah tersebar di 29 kabupaten/kota di Papua.

“Program KPA terkait persoalan ini hanya dua saja. Pertama, kita membeli Purtier Placenta kemudian memberikan kepada para pasien secara gratis. Kedua, kita juga memberikan (bantuan) dalam bentuk uang tunai Rp 500 ribu kepada para pasien,” katanya.

Data KPA Papua, lebih dari 1.000 orang telah menerima bantuan Rp 500 ribu untuk membantu para pasien membeli obat alternatif Aids.

Itu di luar suplemen Purtier Placenta yang dibagikan. Mereka tersebar di 29 kabupaten/kota di Papua.

“Data (penerimanya) semua ada di Bank Mandiri dan BNI, sesuai identitas penerima,” jelasnya.

Namun, Yan enggan menjelaskan lebih rinci terkait total alokasi anggaran yang diberikan pemerintah untuk pengadaan suplemen tersebut.

Sebelumnya, Direktorat Reskrimsus Polda Papua sedang mengungkap praktek penjualan suplemen Purtier Placenta yang diduga mengakibatkan kerugian pada konsumennya.

Seorang dokter ternama di Papua berinisal JM tengah diperiksa sebagai saksi atas kasus ini.

Kanit 1 Subdit Indagsi Reskrimsus Polda Papua, AKP Komang Yustrio Wirahadi Kusuma mengatakan, dr. JM sepanjang menjual Purtier Placenta tidak mengantongi surat ijin edar dari pihak Balai POM Jayapura.

Suplemen itu pun diklaim sebagai obat pengganti ARV.

Bahkan kata Komang, sebanyak empat konsumen meninggal dunia setelah mengkonsumsi Purtier Placenta yang dibeli dari dr. JM.

Ini berdasarkan laporan warga kepada polisi. Kasus ini pun telah naik pada tahap penyidikan, namun belum ada seorang pun yang ditersangkakan.

Dari penyelidikan kasus ini pula terungkap jika KPA Papua pernah melakukan lelang pengadaan suplemen Putrier Placenta dengan menggunakan dana hibah yang diberikan pemerintah sebanyak dua kali.

“Kami juga sudah klarifikasi pihak KPA. Nilainya kurang lebih Rp 1,8 miliar. Penyelidikan dugaan penyalahgunaan dana hibah ini nanti menjadi kewenangan teman-teman di Tipikor atau Kejaksaan. Kami hanya fokus di ijin edar obat ini,” jelas Komang, Senin (3/2) lalu. (Paul)

LEAVE A REPLY