JAYAPURA (PT) – Sekum Badan Pengurus Daerah Asosiasi Rekanan Pengadaan Barang dan Distribusi Indonesia (BPD Ardin Indonesia) Papua, Jacky Kajagi mempertanyakan sejumlah poin penting dalam Perpres No 16 tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah revisi dari Perpres No 54 tahun 2010 dan Perpres Nomor 84 tahun 2012.

Pertama, kata Jacky, dalam Perpres No 54 tahun 2010 menyatakan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah yang selanjutnya disebut dengan pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/institusi.

Yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.

Sementara, dalam Perpres No 16 tahun 2018, terang Jacky, defenisi pengadaan itu diubah menjadi pengadaan barang/jasa pemerintah yang selanjutnya disebut dengan pengadaan barang/jasa adalah kegiatan pengadaan barang/jasa oleh kementerian/lembaga/perangkat daerah yang dibiayai oleh APBN/APBD yang prosesnya dimulai dari identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan.

“Lalu, dalam Perpres No 16 tahun 2018, hanya memiliki 15 Bab dengan 98 pasal, sedangkan Perpres No 54 tahun 2010 beserta perubahannya memiliki 19 Bab, dengan 139 pasal,“ jelas Jacky saat ditemui diruang kerjanya, Kamis (19/7/2018).

Jacky menambahkan, dalam Perpres No 16 tahun 2018, Unit Layanan Pengadaan (ULP) berubah menjadi Unit Kerja Pengadaan Barang Jasa (UKPBJ).

Sedangkan swakelola sebelumnya tiga swakelola menjadi 4 swakelola yang dilakukan oleh organisasi masyarakat seperti Indonesia Coruption Watch (ICW).

Menurutnya, Perpres Nomm 16 tahun 2018 lebih baik sebab penyederhanaan peraturan, tapi yang menjadi perhatian adalah korelasi Perpres No 84 tahun 2012 yang mengakomodir pengusaha asli Papua tidak ada.

“Contohnya pengadaan barang dan jasa untuk daerah pesisir dan sekitarnya itu dengan asumsi Rp 500 juta dapat dilaksanakan dengan mudah oleh pengusaha asli Papua, lantaran tak mengacu kepada Perpres No 70 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Perpres No 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah,” katanya.

“Boleh dikatakan melakukan lelang atau tender tapi administrasinya masih menggunakan Perpres No 70 tahun 2012, jadi percuma saja, begitu juga dengan proyek Rp1 miliar, angka ini sama saja dengan Rp 500 juta, sebab ada perbedaan harga material bangunan antara daerah pegunungan dan pesisir,“ katanya menambahkan.

Sebelumnya, lanjut Jacky, aturan lelang hampir semua dituangkan dalam Perpres No 84 tahun 2012 yakni adanya kesempatan lebih besar kepada orang asli Papua untuk dapat lebih peran dalam pengadaan barang/jasa.

“Perpres baru mengakomodir seluruh pengusaha secara nasional siapapun bisa melakukan tender, tapi Perpres No 84 tahun 2102 memberi perhatian khusus kepada pengusaha asli Papua,“ ucapnya.

Menurutnya, dari sisi Ardin sangat bermanfaat karena swakelola, sebab ada jaminan pengamanan, dan kalau tidak ada jaminan pengamanan, untuk pekerjaan diatas Rp 10 miliar sangat riskan.

“Namun yang mengganjal di kami adalah implementasi Perpres No 84 tahun 2012 tidak diakomodir dengan baik di Perpres No 16 tahun 2018,“ bebernya.

Jacky menambahkan, pihaknya telah membahas mengenai Perpres No 84 tahun 2012 dan sudah disampaikan ke pemerintah melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sehingga lahir Peraturan Gubernur Papua tapi tidak diakomodir.

“Mubazir di saat kami sudah memperjuangkan affirmative action tapi tidak sesuai harapan kami. Meskipun suka atau tidak suka, Perpres baru tetap dijalankan sebab Perpres sebelumnya tak berlaku lagi,“ imbuhnya.

Ia mengaku belum mensosialisasikan peraturan tersebut ke masyarakat luas, masih sebatas anggota Ardin. (nan/dm)

LEAVE A REPLY