JAKARTA (PT) – Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusan atas perkara No 48/PHP.GUB-XVI/2018 terkait sengketa Pilgub Papua menyatakan dalam eksepsinya bahwa menerima eksepsi termohon dalam hal ini KPU Papua dan pihak terkait dalam hal ini pasangan LUKMEN berkenaan dengan kedudukan hukum pemohon.

Kemudian MK juga menyatakan permohonan pemohon dalam hal ini pasangan JWW-HMS (JOSUA) tidak memiliki kedudukan hukum.

Sementara dalam pokok permohonan, MK menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima alias ditolak.

“MK berkesimpulan bahwa MK berwenang mengadili pemohon a quo, permohonan pemohon diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan, eksepsi termohon dan pihak terkait mengenai kedudukan hukum pemohon beralasan menurut hukum. Kemudian pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk pengajukan permohonan a quo, eksepsi lain dari termohon dan pihak terkait tidak dipertimbangkan dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan,” ungkap Ketua Majelis Hakim Anwar Usman yang juga Ketua MK RI saat membacakan konklusi amar putusan dalam sidang MK, Kamis (9/8/2018).

Dikatakan, pemohon tidak memenuhi ketentuan pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pasal 158 ayat (1) huruf b UU Pilkada dan pasal 7 ayat (1) huruf b PMK 5/2017 tentang ketentuan pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1.5 persen dari total suara sah hasil perhitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU.

“Oleh karena itu, MK berpendapat bahwa pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan perkara a quo,” ucapnya.

Dengan demikian, lanjutnya, eksepsi termohon dan pihak terkait bahwa pemohon tidak memiliki kedudukan hukum adalah beralasan demi hukum.

Secara terpisah, Kuasa Hukum KPU Papua, Pieter Ell, SH mengaku telah memprediksikan dari awal bahwa eksepsi termohon pastinya bakal dikabulkan oleh MK.

Pasalnya, menurut Pieter Ell bahwa legal standing dari pemohon tidak memenuhi ambang batas, dimana selisih perhitungan suara antara pemohon dan pihak terkait sangat jauh.

“Jadi dari selisih ini saja 35 persen, sehingga berdasarkan pasal 158 UU No 10 tahun 2016 dan PMK Nomor 7, bahwa tidak memenuhi ambang batas itu sehingga tidak dijadikan sebagai legal standing,” kata Pieter kepada wartawan usai mengikuti sidang.

Ia mengatakan, eksepsi lainnya dari termohon tidak dipertimbangkan oleh hakim.

“Hakim langsung potong disitu, tidak masuk dalam pokok perkara,” bebernya.

Senada dengan itu, Ketua KPU Papua, Theodorus Kossay mengakui, dalam waktu dekat KPU Papua akan melakukan persiapan untuk Pleno penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih tahun 2018-2023.

“Setelah kami menerima salinan amar putusan MK ini maka kami akan jadwalkan untuk penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua,” imbuhnya.

Ia menambahkan, KPU Papua berterima kasih kepada masyarakat Papua yang selama ini berkonsetrasi melalui Pilkada Gubernur Papua dengan aman, damai dan semua stakeholder yang juga mendukung proses dan perhatian untuk demokrasi di Papua.

“Saya selaku Ketua KPU Papua memberikan apresiasi kepada seluruh masyarakat di Papua. Sebab, Pilgub Papua kali ini berjalan aman dan damai tanpa ada kejadian yang dapat merugikan masyatakat,” imbuhnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum pemohon, Saleh, SH mengaku belum ingin berbicara banyak soal amar putusan MK tersebut.

Pasalnya, pihaknya belum menerima salinan amar putusan itu secara utuh dan masih akan menunggu salinannya.

“Saya belum terima salinan amar putusan. Tapi yang jelas tidak semua diungkapkan didalam amar putusan itu. Jadi saya masih menunggu,” terangnya. (dm)

LEAVE A REPLY