JAYAPURA (PT) – Ratusan masyarakat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Papua Peduli Freeport (FMPPF) mengancam bakal menutup operasional tambang emas PT. Freeport Indonesia bila tidak dilibatkan dalam segala bentuk yang berkaitan dengan saham divestasi.

Ancaman penutupan tambang raksasa itu disampaikan ketika FMPPF menggelar aksi demo damai di DPRP, Kamis (9/8/2018).

Pendemo mendesak Pemerintah Indonesia supaya melibatkan masyarakat Papua dalam proses divestasi saham Freeport. Karean rakyat Papua adalah pemilik hak ulayat tanah tempat beroperasinya perusahaan tambang emas terbesar di dunia itu.

“Jika tidak dilibatkan maka rakyat Papua mengancam akan menghentikan operasi PT. Freeport Indonesia,” tegas koordinator aksi demo, Yusak Andato saat berorasi.

Yusak mengatakan, masyarakat Papua harus dilibatkan dalam proses divestasi Freeport, sebagai pemilik hak ulayat.

Hal senada juga dikatakan Ketua Umum FMPPF, Samuel Tabuni yang menjelaskan, tanah Papua bukan tanah yang tanpa pemilik. Bahkan bumi Amungsa bukan tanah tak bertuan, tapi ada pemilik ada yang mempunyai, sehingga harus melibatkan pemilik tanah dalam segala kesepakatan antara pemerintah dan PT. Freeport.

“Kontrak Karya I dan II ini dilakukan tanpa melibatkan masyarakat asli Papua secara umum dan masyarakat adat pemilik tanah Amungsa. Kenyataan ini telah melahirkan derita panjang bagi masyarakat asli Papua yang berada di tanah Amungsa,” tegasnya.

Dikatakan, saat Kontrak Karya akan berakhir, Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia melakukan kesepakatan baru.

Pemerintah Indonesia melalui PT. Inalum, PT. Freeport Indonesia menerbitkan Head of Agreement (HoA) untuk membeli 40 persen hak partisipasi dari Rio Tinto kepada PT. Inalum untuk menggenapi rencana kepemilikan 51 persen saham PT.
Freeport Indonesia.

“Seperti yang telah terjadi pada Kontrak Karya I dan II, kesepakatan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia, PT. Inalum, PT. Freeport Indonesia tidak melibatkan masyarakat asli Papua secara umum dan masyarakat adat pemilik tanah Amungsa,’’ ungkapnya.

Menurutnya, para pihak yang membuat kesepakatan seharusnya memahami bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menggariskan hak individual dan kolektif para penduduk asli (masyarakat adat) dan juga hak mereka terhadap budaya, identitas, bahasa, pekerjaan, kesehatan, pendidikan dan isu-isu lainnya dalam Deklarasi PBB tentang hak-hak penduduk asli pada tahun 2007.

“Deklarasi ini juga menekankan hak mereka untuk memelihara dan memperkuat institusi, budaya dan tradisi mereka serta hak mereka akan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi mereka. Deklarasi ini juga melarang diskriminasi terhadap penduduk asli, dan memajukan partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam segala hal yang menyangkut masalah mereka, serta hakmereka untuk tetap berbeda, dan mengusahakan visi pembangunan ekonomi dan social mereka sendiri,” koarnya.

Kata dia, Deklarasi PBB tentang hak-hak penduduk asli Papua ini telah dijabarkan oleh Dewan Adat Papua dalam 12 butir manifesto hak dasar masyarakat adat Papua yang menekankan bahwa masyarakat adat Papua mempunyai hak milik mutlak atas tanah, hutan, air dan laut di atas tanah Papua, sesuai dengan sistem kepemilikan adat di setiap suku.

“Oleh karena itu, pada hari ini 9 Agustus 2018 bertepatan dengan hari Pribumi Sedunia maka kami masyarakat asli Papua menyatakan keterlibatan aktif dalam setiap kesepakatan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia saat ini maupun di masa yang akan datang terutama mengakomodir hak-hak masyarakat pemilik ulayat di highland Tembagapura dan Lowland Portsite
Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia dimana mengakui hak-hak masyarakat adat Papua di atas wilayah pertambangan
PT. Freeport Indonesia memperjelas skema pendanaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) Freeport yang selama ini disebut sebagai dana 1 persen
PT. Freeport Indonesia memperbarui sistem pengelolaan lingkungan selama industri pertambangan berlangsung hingga pasca tambang yang berperspektif keadilan lingkungan,” katanya.

Ia menambahkan, pihaknya menyatakan dalam pernyataan sikap diantaranya, Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia memperluas peluang bisnis atau manfaat ekonomi bagi masyarakat asli Papua.

Kemudian Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia memperluas peluang masyarakat asli Papua bekerja di PT. Freeport Indonesia dan kontraktornya.

Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia memperluas setiap efek positif yang timbul dan mengurangi efek negatif dari industri pertambangan yang dijalankan oleh Freeport di Tanah Papua.

Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia memperbesar manfaat fiskal yang akan didapatkan oleh pemerintah daerah.
Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia bersama masyarakat asli Papua membangun kesepahaman sejarah Freeport di atas tanah Papua

Selain itu, mendesak kepada Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat, DPR Papua dan Papua Barat untuk segera membentuk pansus dalam rangka mengevaluasi seluruh investasi nasional dan internasional yang sedang beroperasi di atas tanah Papua terutama PT. Freeport Indonesia di Timika dan British Petrolium (BP) di Sorong.

Mendesak kepada Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat agar segera menindak aktivitas ilegal logging dan ilegal mining yang berdampak buruk terhadap ekosistem dan lingkungan hidup di atas tanah Papua.

“Apabila semua butir-butir di atas tidak diakomodir secara baik oleh Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia, maka masyarakat asli Papua akan menutup aktivitas penambangan PT Freeport Indonesia di atas Tanah Papua,” imbuhnya.

Selanjutnya, pernyataan sikap tertulis para pendemo kemudian disampaikan para pendemo kepada anggota DPR Papua yang menerima mereka di halaman Kantor DPR Papua.

Sementara itu, Wakil Ketua I DPR Papua, Ferdinan A.Y Tinal menyatakan, aspirasi yang disampaiakan para pendemo akan ditampung bahkan secara kelembagaan DPR Papua berencana membentuk Pansus Freeport terkait divestasi saham.

“Rakyat Papua sebagai pemilik tanah adat semestinya harus dilibatkan dalam seluruh proses perjanjian antara pemerintah dengan Freeport dan DPR Papua akan menyikapinya dengan membentuk Pansus,” ujarnya.

Hal senada juga dikatakan Anggota DPR Papua, Ruben Magai, SIP bahwa sebagai pemeilik tanah ulayat dan tanah adat atas lahan tempat beroperasinya Freeport, dalam segala kesepakatan anatar pemerintah dan Freeport, masyarakat Adat Papua sudah seharusnya dilibatkan.

“Pemerintah itu hanya terima pajak, tapi pemilik hak ulayat adalah masyarakat adat Papua,” ucapnya.

Setelah aspirasi mereka diterima, massa pendemo yang menggunakan truck kemudian membubarkan diri meninggalkan halaman Kantor DPR papua. (jul/ara)

LEAVE A REPLY